Kondisi Obyektif Masyarakat Indonesia
Tinjauan struktur masyarakat Indonesia menunjukkan, Indonesia bukanlah negara kapitalis murni sebenarnya. Benar, ciri negara kapitalis ada di Indonesia. Masalahnya, kapitalisme Indonesia datang dipaksakan oleh kolonialisme Belanda, dan di sana digunakan budaya-budaya yang tumbuh di masa feodal ataupun sebelumnya (baca: ideologi pra borjuis): patronase, budaya paternalistik (mengutamakan lelaki), bahkan budaya Jawa (tempat feodalisme sedikit agak mapan) dipakai. Janganlah heran, ketika melihat borjuasi nasional Indonesia sangat bersifat kompromis dengan penguasa-penguasa totaliter dan saling bunuh di antara mereka sendiri.
Pada analisa kelas Indonesia, sering terjadi salah mengidentifikasikan fungsi negara. Sering dilihat bahwa negara Indonesia agak lebih mandiri terhadap para kapitalis lokal ataupun internasional, terlihat memang birokrasi negara harus selalu disogok dulu sebelum urusan para kapitalis lancar. Tapi belum pernah terjelaskan kenapa ini terjadi. Benarkah birokrasi adalah penguasa yang mutlak di Indonesia? Sebenarnya kepada siapakah birokrasi negara ini tunduk? Apakah hanya kepada dirinya sendiri atau kepada suatu kelas penguasa?
Kalau kita sepakat bahwa negara adalah perwakilan dari kelas yang berkuasa, maka pertanyaan kita harus mengarah kepada: Kelas apakah yang berkuasa di Indonesia?
Fondasi suatu masyarakat adalah corak produksinya, dan kelas penguasa adalah kelas yang memegang alat produksi. Jika Indonesia adalah masyarakat kapitalis, meski bukan kapitalis murni, maka yang berkuasa adalah pemilik modal. Siapa sajakah pemilik modal di Indonesia, dan di antara mereka siapakah yang paling berkuasa?
Ketika melihat fenomena Soeharto, harus kita amati siapa sebenarnya Soeharto. Soeharto adalah seorang kapitalis dan juga seorang jenderal militer. Komentar yang biasanya timbul adalah: Itu hanya oknum militer yang menjadi kapitalis. Masalahnya, kalau hanya satu dua orang militer menjadi kapitalis, kenapa mesti ada dwifungsi ABRI (ingat, kapitalis menggunakan negara untuk menyelesaikan konflik-konflik dengan kelas di bawahnya)?
Ada baiknya kita melihat sedikit ke belakang, sejarah setelah revolusi 1945.
Berbeda dengan negara-negara lain, militer menjadi suatu kelas tersendiri. Kelas yang sangat mandiri. Menyerahnya Soekarno tahun 1948 tidak diikuti oleh takluknya militer Indonesia. Apapun pembenarannya, ini membuktikan bahwa pemerintah sipil Indonesia tidak memiliki kontrol penuh atas militernya. Soedirmanlah yang menolak menyerah, dan memerintahkan anak buahnya untuk juga menolak menyerah.
Bukti lainnya adalah, dibersihkannya kekuatan-kekuatan bersenjata partisan (Hisbullah, TNI Masyarakat, dll) yang dikontrol partai-partai sipil, sehingga yang berkuasa adalah militer didikan penjajah (KNIL ataupun Peta dan sebagainya).
Kemudian dalam sejarahnya, upaya-upaya pemerintahan sipil mengontrol kembali militer dihadapi dengan aksi bersenjata tahun 1952. Moncong meriam diarahkan ke Istana Negara.
Konfrontasi dengan Belanda tahun 1958-1962, adalah momen politik yang digunakan militer untuk memapankan kaki ekonomi militer, yang sebelumnya ilegal (penyelundupan, perdagangan candu, dll) -- sisa-sisa cara militer bertahan hidup selama bergerilya. Aksi-aksi nasionalisasi berakhir dengan berkuasanya militer dalam perusahaan-perusahaan besar. Memapankan militer sebagai sebuah kelas kapitalis.
Kontra revolusi Oktober 1965, adalah tanda berhasilnya militer mengkonsolidasikan kekuatannya sebagai kelas penguasa di Indonesia, sebagai fraksi kapitalis yang mendominasi kekuasaan negara. Dwifungsi ABRI dijadikan sebuah hukum, sebelumnya adalah sebuah konsep yang dipersiapkan untuk masa berkuasanya militer. Dengan begitu, kapitalis yang berkuasa di Indonesia adalah kapitalis bersenjata, tentu saja masih ada ketergantungan dengan kapitalisme pusat (global). Dan ini masih tetap begitu sampai sekarang.
1998: Revolusi setengah hati
Kapitalis bersenjata tidak lagi dianggap sebagai kaki yang efisien oleh kapitalis global. Ini terlihat dari krisis moneter yang berkepanjangan, akibat intervensi kapitalis internasional ke dalam ekonomi yang sedang dibangun kapitalis bersenjata. Yang jelas, krisis ini menghajar kapitalis bersenjata ataupun kapitalis lokal lainnya cukup telak. Simbol politik kapitalis bersenjata dan pimpinan rejim Orde Baru, Soeharto ditumbangkan oleh rakyatnya.
Namun, permasalahannya, penumbangan ini tidak diikuti dengan penghancuran struktur birokrasi dan struktur teritorial militer, yang merupakan alat penunjang sistem kekuasaan Negara kapitalis bersenjata. Layak jika dikatakan Revolusi Mei 98 adalah revolusi setengah hati. Pertama karena tujuannya hanya mengganti Soeharto, kedua tidak ada kepemimpinan politik yang jelas baik dari organisasi perjuangan ataupun mahasiswa sebagai kelas yang melakukan aksi-aksi mempelopori penumbangan Soeharto.
Akibatnya, mahasiswa sepertinya kehilangan momentum gerak: terpecah-pecah, masih terjebak dalam pola pikir moral (yang sangat berbahaya ketika aksi yang dilakukan adalah aksi-aksi politis seperti pada penumbangan Soeharto), dan semakin tidak jelas arah perjuangannya.
Situasi tersebut di atas adalah kondisi obyektif gerakan mahasiswa sebagai pelopor gerakan rakyat.
Langkah-langkah ke depan yang harus dilakukan
Pendorongan aksi-aksi kepentingan ekonomi rakyat, yang diarahkan ke pembentukan organ-organ perlawanan rakyat yang radikal dan revolusioner, yang pada nantinya memiliki peran dalam mengontrol penjalanan kerja-kerja negara. Organ-organ ini juga harus beraliansi antar sektor (aliansi buruh-tani-mahasiswa-kaum miskin kota).
Penghancuran struktur sistem kekuasaan Negara rejim Orde Baru: pembubaran kabinet, pencabutan dwifungsi ABRI (bukan hanya peran sosial politiknya saja—itu hanya alat kepada elit sipil, tetapi juga menghancurkan anjing-anjing penjaga kepentingan modal kapitalis bersenjata: Kodam, Korem, Kodim, Koramil, Babinsa; lembaga-lembaga ekstrayudisial), dan penghancuran lembaga-lembaga pemelihara kekuasaan lainnya (lembaga-lembaga agama, lembaga-lembaga budaya, dan lainnya yang berpihak pada rejim lama).
Pembentukan Pemerintahan Sementara (Pemerintahan Transisi) untuk menjamin jalannya demokratisasi. Jangan sampai kelompok-kelompok anti demokrasi-anti perubahan-anti rakyat dapat kembali berkuasa. Pemerintahan transisi haruslah dapat dikontrol oleh organ-organ perlawanan rakyat.
Bagaimana Memulainya?
Pertama, harus dipahami bahwa gerakan merebut demokrasi (revolusi demokratik) tidak bisa dilakukan oleh satu-dua organ, atau hanya mahasiswa, atau hanya satu kota. Kekuatan-kekuatan pro demokrasi harus digalang sehingga terbentuk kekuatan yang besar: antar organ, antar sektor, dan antar kota. Ini untuk semakin memperkuat posisi rakyat ketika berhadapan dengan kekuasaan negara, selain itu, inilah sebenarnya watak demokrasi. Semua kelas masyarakat harus terlibat dalam perjuangan demokrasi, bukan hanya masalah memperbanyak massa untuk proses perebutan kekuasaan oleh rakyat, tetapi politik juga harus dipahami memiliki kekuatan untuk mengatur hubungan-hubungan ekonomi antar kelas rakyat. Penggalangan kekuatan ini ditindak lanjuti dengan pembentukan front, untuk mengikat kekuatan-kekuatan pro demokrasi sehingga tidak lagi terpencar-pencar. Masalah-masalah eksistensi organisasi harus sudah diselesaikan.
Kedua, front ataupun embrionya harus terus-menerus menggunakan momen-momen politik untuk berkelahi dengan negara. Kekuasaan harus terus-menerus diganggu, jangan diberi kesempatan untuk berkonsolidasi. Pengujian front dapat dilakukan dengan cara ini. Elemen yang konsisten akan teruji dan terlihat, elemen yang bertingkah angin-anginan akan tersisihkan dan pasti akan ditinggalkan massanya.
Momentum sidang umum MPR 1999 dapat digunakan untuk mengganggu kekuasaan. Penggalangan kekuatan harus segera dimulai. Aksi-aksi massa rakyat harus terus-menerus diradikalisasi, sehingga rakyat terdidik secara masif dan cepat. Dengan begitu proses penumbangan kekuasaan Orde Baru dapat semakin cepat terjadi.
Ketiga, harus terjadi eskalasi pendidikan, sejalan dengan kebutuhan percepatan politik yang ada. Jika siangnya aksi, malamnya kembali kursus politik, misalnya.
Lapangan…
1. Pembentukan posko-posko rakyat, sebagai tempat diskusi-diskusi rakyat, sebagai tempat pengorganisasian dan mobilisasi rakyat.
2. Penentuan jalur-jalur aksi rakyat ke arah simbol-simbol kekuasaan negara, di mana konsentrasi massa yang akan bergabung dengan aksi-aksi perlawanan
3. Penerbitan propaganda yang terdistribusi dengan jelas.